Sejak awal kemunculan “Qur’an Pojok” (sebutan untuk mushaf yang
setiap halaman diakhiri dengan penghabisan ayat – dalam bahasa Turki
disebut
āyet ber-kenār) di Turki pada akhir abad ke-16, mushaf
jenis ini terkait erat dengan para penghafal Al-Qur’an. Setiap halaman
yang diakhiri dengan akhir ayat sangat memudahkan para penghafal dalam
mempelajari tahap-tahap hafalan.

Dalam
sejarahnya, di Turki, “Qur’an Pojok” paling tua adalah sebuah mushaf
bertahun 1598, dengan 14 baris tulisan (Derman 2010: 103). Pada awalnya,
jumlah baris setiap halaman bervariasi, namun
sejak paruh kedua abad ke-18 mushaf jenis ini selalu terdiri atas 15
baris, dan ini menjadi standar sampai berakhirnya penyalinan naskah
mushaf secara manual pada akhir abad ke-19 (Stanley2004: 59).
Selama beberapa dasawarsa sejak awal tahun 1930-an, produksi mushaf
diIndonesiadidominasi oleh cetak ulang “Qur’an Bombay” yang berciri
huruf tebal. Keadaan itu berlangsung hingga tahun 1970-an, ketika
Penerbit Menara Kudus mulai mencetak “Qur’an Sudut” (nama lain model
ini) untuk memenuhi kebutuhan para santri yang belajar menghafal
Al-Qur’an.
Di sini, sekali lagi, terlihat adanya kaitan yang sangat erat antara
pencetakan mushaf jenis ini dengan aktivitas menghafal Al-Qur’an.
Menurut informasi, Penerbit Menara Kudus memperoleh “Qur’an Pojok” yang
dicetaknya itu dari Kiai Arwani Amin, pengasuh Pesantren Yanbu’ul
Qur’an, pesantren khusus menghafal Qur’an yang terkenal di Kudus.
Pesantren ini memiliki ribuan santri.
Penerbit Menara Kudus tidak mencantumkan nama penulis “Qur’an
Pojok” yang dicetaknya. Namun, dari perbandingan tulisan, dapat
diketahui secara pasti bahwa Qur’an tersebut adalah reproduksi (
copy ulang)
sebuah Qur’an yang diterbitkan oleh Percetakan Usman Bik, Turki. Di
bagian belakang mushaf terdapat kolofon bahwa mushaf ini ditulis oleh
Mustafa Nazif, dan telah ditashih oleh
Hai’ah Tadqiq al-Masahif asy-Syarifah pemerintah Turki di Percetakan Usman Bik, Jumada al-Ula 1370 H (Februari-Maret 1951). Di bagian
flap sampul terdapat tulisan “
Muhammad Salih Ahmad Mansur al-Baz al-Kutubi bi-Bab al-Islam bi-Makkah al-Mukarramah” – barangkali merupakan pedagang kitab di Mekah yang mengedarkan Al-Qur’an ini.
Ukuran mushaf aslinya adalah 19,5 x 13,5 cm, tebal 5 cm, sedangkan
ukuran mushaf Menara Kudus 15,5 x 11,5 cm, tebal 2,5 cm. Ukuran ini
termasuk kecil dibandingkan dengan ukuran Al-Qur’an pada umumnya waktu
itu. Ukuran tersebut sesuai dengan keperluan praktis para penghafal
Al-Qur’an, sehingga lebih mudah dibawa-bawa para santri dalam latihan
menghafal sehari-hari.
Karena Al-Qur’an ini memiliki beberapa perbedaan dalam hal ejaan
tulisan seperti yang ada dalam “Qur’an Bombay” yang telah biasa
digunakan masyarakat luas, di bagian belakang mushaf yang dicetak
Penerbit Menara Kudus itu terdapat uraian tambahan dalam aksara Jawi
berjudul “Bacaan Qur’an yang Perlu Diperhatikan”. Tulisan ini disusun
oleh Kiai Sya’roni Ahmad, Kudus, serta ditashih dan disempurnakan oleh
Kiai Arwani Amin. Pada halaman berikutnya terdapat “Surat Tanda Tashih”
dari Lajnah Pentashih Al-Qur’an, Kementerian Agama RI, dan di bawahnya
ada pernyataan “Cetakan al-Qur’an ini telah diperiksa dan diteliti oleh
(1) al-‘Allamah al-Hafiz Kiai Arwani Amin, (2) al-Mukarram al-Hafiz Kiai
Hisyam, Kudus, (3) al-Muhtaram al-Hafiz Kiai Sya’roni Ahmad, Kudus”
dengan tanda tangan masing-masing.

Penerbit
Menara Kudus memperoleh izin mengedarkan Qur’an dari Kepala Lembaga
Lektur Keagamaan tanggal 29 Mei 1974, setelah Al-Qur’an tersebut selesai
ditashih oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, Kementerian Agama RI,
pada tanggal 16 Mei 1974. Sejak itu penerbit ini secara tekun mencetak
mushaf ini hingga sekarang. Selama sekitar 25 tahun Penerbit Menara
Kudus mungkin merupakan satu-satunya pencetak mushaf
āyet ber-kenār di Indonesia, karena hingga tahun 2000-an cetakan Al-Qur’an
alaBombay
masih cukup dominan di pasar mushaf di Indonesia. Peran sebagai
satu-satunya penerbit “Qur’an Pojok” selama dua setengah dasawarsa itu
menjadikan Al-Qur’an yang diterbitkannya itu melekat di hati masyarakat,
sehingga mereka menyebutnya sebagai “Qur’an Kudus”. Istilah ini sangat
melekat di kalangan para penghafal Qur’an, dan digunakan di hampir semua
pesantren tahfiz diIndonesia sampai akhir abad lalu.
Namun tidak semua “Qur’an Pojok” yang beredar di Indonesiamerupakan
hasil cetak ulang atas Al-Qur’an dari Turki. Penerbit Wicaksana,
Semarang, Jawa Tengah, pada tahun 2001 menerbitkan Al-Qur’an hasil karya
Safaruddin, dari Panunggalan, yang selesai ditulisnya pada tahun 1418 H
(1997-98). Reka letak ayat mushaf ini sama dengan “Qur’an Kudus” yang
telah dikenal luas di masyarakat. Namun, berbeda dengan “Qur’an Kudus”
yang menggunakan
rasm imla’i (atau
rasm usmani asasi), Al-Qur’an ini menggunakan
rasm usmani sepenuhnya seperti halnya “Qur’an Bombay” yang digunakan oleh mayoritas masyarakat Muslim di Indonesia.
http://lajnah.kemenag.go.id
Download
Al-Quran Dan Terjemah Indonesia Menara Kudus Full